Minggu, 18 September 2011

Artikel menarik dari Rhenald Kasali


Pasport –
Jawapos 8 Agustus 2011

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernahnaik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR

dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi

tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin

memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet,

terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu

kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan,

pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia,

Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu

dan bisa dijangkau.

"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"

Saya katakan saya tidak tahu. *Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang

bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi

kehidupan dan tujuannya dari uang. *Dan begitu seorang pemula bertanya

uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir

pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga

para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah

melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas

kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut

sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.

Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju.

Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan,

teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para

pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok

backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah,

menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang

bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka

sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis,

yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang

yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh,

bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah

rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima

Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang

dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko,

menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut

kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan

menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain

kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat

teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi

eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

*

The Next Convergence*

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel

ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari

Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk

dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin

masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan

miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak

pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket

pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi

para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima

ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis

melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan

jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu

pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah

kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan

infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada

di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan

memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas

Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat

minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus

Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung

melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau

diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka

perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia

ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf

tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti

menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah

punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi,

jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket,

menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan

kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya

sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun

kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka

anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu

tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang

mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang

meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.

Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki

daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit.

Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita,

gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki

pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport

pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di

Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe

yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya

mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus

Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

*Rhenald Kasali

Guru Besar Universitas Indonesia *

0 komentar:

 

My Blog Blak Magik is Designed by productive dreams for smashing magazine Bloggerized by Ipiet © 2009